Headline

Kontroversi Rara Pawang Hujan di Aceh: Klarifikasi dan Tuntutan Hormati Tradisi Lokal

130
×

Kontroversi Rara Pawang Hujan di Aceh: Klarifikasi dan Tuntutan Hormati Tradisi Lokal

Sebarkan artikel ini

Banda Aceh – Rara Istiati Wulandari, yang dikenal luas sebagai Rara Pawang Hujan, menjadi sorotan setelah dilaporkan diusir dari Aceh karena dianggap melanggar syariat Islam. Rara, yang diundang oleh perusahaan kontraktor untuk menangani cuaca buruk selama renovasi Stadion Harapan Bangsa, membantah keras tuduhan tersebut.

Renovasi Stadion Harapan Bangsa yang strategis menghadapi tantangan besar akibat cuaca buruk yang tak kunjung reda. Dalam upaya untuk mengatasi hambatan ini, kontraktor memutuskan untuk memanggil Rara, yang dikenal dengan kemampuannya mengendalikan cuaca melalui ritual tradisional. Namun, kehadiran Rara di Aceh memicu protes dari berbagai kalangan yang menilai ritual tersebut tidak sesuai dengan syariat Islam yang ketat di provinsi ini.

Berita mengenai pengusiran Rara segera menyebar, didukung oleh laporan bahwa Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Safrizal, mengeluarkan surat pemulangan serta menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Aceh atas penggunaan jasa pawang hujan. Keputusan ini dikabarkan dipicu oleh ketidakberhasilan ritual yang dilakukan Rara, di mana hujan kembali turun setelah magrib meskipun ritual telah dilakukan.

Menanggapi kontroversi tersebut, Rara memberikan klarifikasi pada Kamis (29/8/2024). Ia menyatakan bahwa dirinya tidak pernah diusir dari Aceh dan membantah tuduhan melanggar syariat Islam. “Tidak ada pengusiran, dan saya selalu menjaga agar tindakan saya tidak bertentangan dengan norma setempat,” tegas Rara.

Rara menjelaskan bahwa sejak tanggal 20 hingga 29 Agustus 2024, ia telah menjalankan tugasnya dengan baik. “Saya berhasil menghentikan hujan dari pagi hingga sore pada tanggal 27 Agustus 2024. Hujan baru turun lagi pada malam hari ketika saya sudah tidak lagi memantau cuaca,” jelasnya.

Lebih lanjut, Rara menekankan pentingnya menghormati perbedaan tradisi dan cara-cara lokal dalam menghadapi tantangan. “Saya datang dengan niat baik untuk membantu, dan saya memastikan setiap langkah saya sesuai dengan adat dan tradisi yang ada,” tambahnya.

Kasus ini memicu diskusi yang lebih luas tentang bagaimana tradisi lokal dapat berinteraksi dengan aturan agama yang ketat di Aceh. Meskipun Rara telah memberikan klarifikasi, isu ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara adat, agama, dan modernitas dalam setiap tindakan. Hingga kini, belum ada pernyataan lebih lanjut dari pihak pemerintah Aceh terkait klarifikasi yang diberikan oleh Rara. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *